BUDIDAYA
TANAMAN KEDELAI
“RESUME TANAMAN KEDELAI”
OLEH
:
PRASETYO SIAGIAN
(D1A009112)
AGROEKOTEKNOLOGI (C/3)
FAKULTAS
PERTANIAN
UNIVERSITAS
JAMBI
2011
1.Fluktuasi data permintaan dan
produksi kedelai ?
Produksi kedelai di Indonesia pernah
mencapai puncaknya pada tahun 1992 yaitu sebanyak 1,87 juta ton. Namun setelah
itu, produksi terus mengalami penurunan hingga hanya 0,672 juta ton pada tahun
2003. Artinya, dalam 11 tahun produksi kedelai merosot mencapai 64 persen.
Sebaliknya, konsumsi kedelai cenderung meningkat sehingga impor kedelai juga
mengalami peningkatan mencapai 1,307 juta ton pada tahun 2004 (hampir dua kali produksi
nasional) (Tabel 1). Impor ini berdampak menghabiskan devisa negara sekitar
Rp.3 triliun per tahun. Selain itu, impor bungkil kedelai telah mencapai 1,3 juta
ton per tahun yang menghabiskan devisa negara sekitar Rp. 2 triliun per tahun
(Atman, 2006a; Alimoeso, 2006).
Proyeksi konsumsi kedelai terlihat bahwa
total kebutuhan terus mengalami peningkatan dari 2,35 juta ton pada tahun 2009
menjadi 2,71 juta ton pada tahun 2015 dan 3,35 juta ton pada tahun 2025 (Tabel
2). Jika sasaran produktivitas rata-rata nasional 1,5 t/ha bisa dicapai, maka
kebutuhan areal tanam diperkirakan sebesar 1,81 juta ha pada tahun 2015 dan
2,24 juta ha pada tahun 2025 (Simatupang,
et al., 2005). Tantangannya adalah bagaimana mencapai areal tanam tersebut
sementara lahan yang tersedia terbatas dan digunakan untuk berbagai tanaman
palawija lainnya yang lebih kompetitif.
2.Solusi dalam swasembada pangan ?
STRATEGI
PENINGKATAN PRODUKSI
Sampai saat ini, produksi kedelai di
tingkat petani masih rendah, rata-rata 1,3 t/ha dengan kisaran 0,6-2,0 t/ha,
sedangkan potensi hasilnya bisa mencapai 3,0 t/ha. Senjang produktivitas yang
sangat besar tersebut memberikan peluang bahwa peningkatan produksi melalui
peningkatan produktivitas di tingkat petani masih bisa dilakukan. Menurut Subandi (2007), paling tidak ada lima
strategi penting yang harus dilaksanakan untuk menjamin keberhasilan peningkatan
produksi kedelai nasional, yaitu: (1) Perbaikan harga jual; (2) Pemanfaatan potensi
lahan; (3) Intensifikasi pertanaman; (4) Perbaikan proses produksi; dan (5) Konsistensi
program dan kesungguhan aparat.
1.
Perbaikan Harga Jual
Harga jual yang rendah di tingkat petani
sehingga kurang kompetitif dibandingkan komoditas palawija lainnya, merupakan
salah satu faktor utama yang menyebabkan petani kurang berminat membudidayakan
kedelai. Peningkatan harga jual di tingkat petani merupakan kunci utama dalam
mengembalikan minat petani untuk menanam kedelai. Untuk memenuhi kebutuhan kedelai di
Indonesia, pemerintah terpaksa melakukan impor kedelai, terutama dari negara
Amerika Serikat sebagai pengekspor utama. Terjadinya perubahan kebijakan
pengelolaanlahan pertanian di Amerika Serikat dari tanaman kedelai ke tanaman
jagung (sebagai sumber ethanol) menyebabkan produksi kedelai dunia mulai
berkurang sementara permintaan selalu meningkat. Akibatnya, selain harga
kedelai di pasaran dunia dan lokal yang naik lebih dari dua kali lipat,
ketersediaan kedelai di pasar juga sudah mulai langka. Harga kedelai di pasar dunia akhir-akhir ini
meningkat tajam. Pada awal tahun 2007 harga kedelai hanya $300 US per ton, meningkat menjadi $600 US
per ton pada akhir tahun 2007 (Puslitbangtan, 2008). Hal ini berdampak langsung
terhadap kenaikan harga kedelai di dalam negeri. Pada awal tahun 2007 harga
eceran kedelai sekitar Rp.3.000 per kg, naik menjadi Rp.8.000 per kg, bahkan di
beberapa daerah mencapai Rp.10.000 per kg. Kondisi ini memberi peluang kembali
bagi peningkatan produksi kedelai di Indonesia sekaligus meningkatkan pendapatan
petani dengan harga yang lebih tinggi dan lebih kompetitif dibanding komoditas
palawija lainnya.
2.
Pemanfaatan Potensi Lahan
Pemanfaatan potensi lahan yang tersedia
untuk mendukung peningkatan produksi kedelai antara lain dapat dilakukan dengan
penanaman kedelai sebagai tanaman utama ataupun sebagai tanaman sela, diantaranya
penanaman kedelai secara tumpang sari dengan ubikayu, kelapa sawit, kelapa, atau
tanaman tua lainnya. Menurut Subandi (2007), dengan menerapkan teknologi maju,
kedelai yang ditumpang sarikan dengan ubikayu dapat berproduksi mencapai 2 t/ha
sedangkan ubikayu 30 t/ha. Selain itu, pemanfaatan potensi lahan bera setelah
panen padi sawah juga dapat mendukung peningkatan produksi kedelai utamanya
pada lahan sawah tadah hujan, lahan sawah irigasi desa, dan lahan sawah irigasi
sederhana. Menurut Atman (2006b), biasanya lahan ini dibiarkan bera setelah panen
padi untuk waktu cukup lama (1-3 bulan). Pemanfaatan lahan ini untuk budidaya
kedelai dapat meningkatkan indeks pertanaman yang hanya 170% menjadi 200-250%
per tahun, dengan pola tanam padi-kedelai-padi dan hasil yang cukup tinggi. Hasil
penelitian Hamzah, et al. (1987), penanaman
kedelai pada setelah padi sawah tanpa pengolahan tanah mampu memberikan hasil
sampai 2,3 t/ha di Aceh dan 1,97 t/ha di Sumatera Barat.
3.
Intensifikasi Pertanaman
Intensifikasi pertanaman untuk
mendukung peningkatan produksi kedelai antara lain dapat dilakukan melalui
perluasan areal tanam. Perluasan areal tanam tidak hanya dilakukan pada
daerah-daerah yang sebelumnya menjadi sentra produksi kedelai tetapi juga
membuka daerah-daerah pertumbuhan baru. Menurut BBSDLP (2008), dari identifikasi
biofisik sumberdaya lahan di 17 propinsi di Indonesia didapatkan 17,7 juta ha
lahan yang sesuai untuk pengembangan kedelai, terdiri dari 5,3 juta ha
berpotensi tinggi, 3,1 juta ha berpotensi sedang, dan 9,3 juta ha berpotensi
rendah (Tabel 3). Pengembangan kedelai sebaiknya diprioritaskan pada propinsi
yang memiliki lahan berpotensi tinggi cukup luas, seperti: Jawa Timur, Jawa
Tengah, Sumatera Barat, Papua barat, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan. Bila
lahan berpotensi sedang juga diperhitungkan maka kedelai dapat juga dikembangkan
di Lampung, N.A. Darusalam, Banten, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Tenggara.
4.
Perbaikan Proses Produksi
Proses produksi yang mampu memberikan
produktivitas tinggi, efisien, dan berkelanjutan yakni melalui pendekatan
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT). Menurut Balitkabi (2008), PTT adalah salah satu
pendekatan dalam usahatani yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dan
pendapatan petani serta melestarikan lingkungan produksi. Dalam implementasi-nya,
PTT mengintegrasikan komponen teknologi pengelolaan lahan, air, tanaman, dan
organisme pengganggu tanaman (LATO) secara terpadu.
5. Konsistensi Program dan Kesungguhan Aparat
Membangun sistem usaha agribisnis
kedelai memerlukan komitmen/program yang kuat antara pemerintah, swasta
(agroindustri) dan petani, agar keberlanjutan usaha yang saling menguntungkan
dapat terjamin. Sejak era Orde Baru (Orba) sampai era Reformasi yang dilanjutkan
dengan era Otonomi Daerah (Otoda), pemerintah telah menempuh banyak kebijakan dalam
mengembangkan kedelai di Indonesia yang memiliki tujuan yang sama meskipun nama
programnya berbeda. Era Orba, kebijakan pengembangan kedelai ditempuh melalui:
(i) kebijaksanaan harga yang berorierntasi pada produsen; (ii) Pengembangan paket
teknologi; (iii) Subsidi sarana produksi; dan (iv) pengendalian impor dan
perdagangan dalam negeri (Puslitbangtan, 1991).
Dalam era Reformasi sampai Otoda, kebijakan pengembangan kedelai terus
dilanjutkan dengan berbagai program yang berorientasi produksi, seperti Gema
Palagung dan Proksi Mantap (Hafsah dan Sudaryanto, 2004). Kemudian tahun 2006-2010,
pemerintah mencanangkanprogram ”BANGKIT KEDELAI”, singkatan dari Pengembangan
Khusus dan Intensif Kedelai. Program ini bertujuan untuk membangkitkan gairah petani
dalam mengembangkan kedelai melalui upaya peningkatan produktivitas, perluasan
areal tanam, kemitraan, dan lain-lain. Meskipun program pengembangan kedelai
sudah banyak dilaksanakan, namun ada kecenderungan bahwa produksi kedelai baru
meningkat ketika ada program pengembangan dari pemerintah (Atman, 2006c). Untuk
itu, kesinambungan dan konsistensi program termasuk pendanaannya harus mendapat
perhatian dan alokasi yang sepadan. Atman dan Hosen (2008) menyarankan untuk
pengembangan agribisnis kedelai diperlukan sebuah gerakan yang dikomandoi oleh
Pemerintah Daerah dengan tetap mengacu pada kebijakan pengembangan kedelai
secara nasional, seperti subsidi harga
dan lainnya. Untuk menjalankan Program Pemerintah Daerah ini, beberapa saran diajukan
kepada pengambil kebijakan di tingkat Propinsi dan Kabupaten/Kota, yaitu: (i)
Memanfaatkan lahan yang sudah diusahakan secara optimal (sawah dan lahan
kering) untuk kedelai tanpa mengurangi areal tanam tanaman yang sudah ada; (ii)
Pengusahaan kedelai oleh petani harus menerapkan inovasi baru agar efisiensi usaha
dapat dicapai dan kompetitif dengan komoditas pangan lainnya; dan (iii) program
penanaman kedelai di lahan sawah tadah hujan dan irigasi sederhana, sebaiknya menjadi
program prioritas.
3. Apa manfaat kedelai ?
Kacang
kedelai yang diolah menjadi tepung kedelai secara garis besar dapat dibagi
menjadi 2 kelompok manfaat utama, yaitu: olahan dalam bentuk protein kedelai
dan minyak kedelai. Dalam bentuk protein kedelai dapat digunakan sebagai bahan
industri makanan yang diolah menjadi: susu, vetsin, kue-kue, permen dan daging
nabati serta sebagai bahan industri bukan makanan seperti : kertas, cat cair,
tinta cetak dan tekstil. Sedangkan olahan dalam bentuk minyak kedelai digunakan
sebagai bahan industri makanan dan non makanan. Industri makanan dari minyak
kedelai yang digunakan sebagai bahan industri makanan berbentuk gliserida
sebagai bahan untuk pembuatan minyak goreng, margarin dan bahanlemak lainnya.
Sedangkan dalam bentuk lecithin dibuat antara lain: margarin, kue, tinta,
kosmetika, insectisida dan farmasi.
4. Asal usul tanaman kedelai ?
Kedelai merupakan
tanaman asli Daratan
Cina dan telah dibudidayakan oleh
manusia sejak 2500
SM. Sejalan dengan
makin berkembangnya
perdagangan antarnegara yang
terjadi pada awal
abad ke-19, menyebabkan tanaman
kedalai juga ikut tersebar
ke berbagai negara tujuan
perdagangan tersebut, yaitu
Jepang, Korea, Indonesia, India, Australia,
dan Amerika. Kedelai
mulai dikenal di
Indonesia sejak abad ke-16. Awal mula penyebaran dan pembudidayaan kedelai
yaitu di Pulau Jawa, kemudian berkembang ke Bali, Nusa Tenggara, dan pulau-pulau
lainnya. Pada awalnya, kedelai dikenal dengan beberapa nama botani, yaitu
Glycine soja dan
Soja max. Namun
pada tahun 1948
telah disepakati bahwa nama
botani yang dapat diterima dalam istilah ilmiah, yaitu Glycine max (L.) Merill.
Klasifikasi tanaman kedelai sebagai berikut :
Divisio : Spermatophyta
Classis : Dicotyledoneae
Ordo : Rosales
Familia : Papilionaceae
Genus : Glycine
Species : Glycine max (L.) Merill
5. Bagaimana swasembada kedelai di
inonesia ?
Menteri
Pertanian, Suswono, mengatakan Indonesia menargetkan swasembada kedelai pada
2014, dan salah satunya menjadikan Lahat, Sumatera Selatan, lumbungnya.
Menteri Pertanian mengemukakan hal itu saat melakukan kunjungan kerja dan panen raya kedelai pada Senin di Desa Pagarjati, Kecamatan Kikim Selatan, Lahat.
Menurut dia, selama ini dari semua lokasi penanaman dan pengembangan tanaman kedelai di Indonesia, baru di Lahat yang bisa mencapai hasil panen sangat membanggakan.
Disebutkan, setiap 1 hektare lahan dapat menghasilkan 2,6 ton kedelai, sementara sebelumnya hanya sekitar 1,3 ton saja.
"Kerja keras dan dedikasi semua kalangan, khususnya petani, sangat membanggakan. Hal ini sudah dibuktikan petani di Kabupaten Lahat," kata Suswono.
Ke depan, kata dia, tinggal bagaimana trik dan kiat khusus yang akan dilaksanakan dalam pengelolaan dan pendistribusiannya saja. Bahkan, target 2014--jika hasil positif terus ditunjukkan di lapangan seperti ini--jelas semuanya akan mampu dicapai.
Dikatakan, keberhasilan akan dapat dilakukan dengan peningkatan produktivitas dan pengelolaan tanaman terpadu, perluasan lahan pertanian, serta hingga pengamanan produksi dan penguatan kelembagaan.
"Kemudian ke depan pembiayaan bidang ini akan lebih difokuskan oleh pihak Kementerian Pertanian Indonesia. Namun, harus didukung penuh Pemprov Sumsel dan Pemkab Lahat," katanya.
Menteri Pertanian mengemukakan hal itu saat melakukan kunjungan kerja dan panen raya kedelai pada Senin di Desa Pagarjati, Kecamatan Kikim Selatan, Lahat.
Menurut dia, selama ini dari semua lokasi penanaman dan pengembangan tanaman kedelai di Indonesia, baru di Lahat yang bisa mencapai hasil panen sangat membanggakan.
Disebutkan, setiap 1 hektare lahan dapat menghasilkan 2,6 ton kedelai, sementara sebelumnya hanya sekitar 1,3 ton saja.
"Kerja keras dan dedikasi semua kalangan, khususnya petani, sangat membanggakan. Hal ini sudah dibuktikan petani di Kabupaten Lahat," kata Suswono.
Ke depan, kata dia, tinggal bagaimana trik dan kiat khusus yang akan dilaksanakan dalam pengelolaan dan pendistribusiannya saja. Bahkan, target 2014--jika hasil positif terus ditunjukkan di lapangan seperti ini--jelas semuanya akan mampu dicapai.
Dikatakan, keberhasilan akan dapat dilakukan dengan peningkatan produktivitas dan pengelolaan tanaman terpadu, perluasan lahan pertanian, serta hingga pengamanan produksi dan penguatan kelembagaan.
"Kemudian ke depan pembiayaan bidang ini akan lebih difokuskan oleh pihak Kementerian Pertanian Indonesia. Namun, harus didukung penuh Pemprov Sumsel dan Pemkab Lahat," katanya.
tlong di komen ya , setelah di baca !
BalasHapusmkasih
Oh Begitu.. , resumenya bermanfaat :D
BalasHapus